Wednesday, February 19, 2014

PERSYARATAN TEKNIS LOKASI BUDIDAYA IKAN PATIN



1.  Sumber Air
            Air merupakan media hidup ikan sehingga keberhasilan pembenihan sangat ditentukan oleh ketersediaan air media. Sumber air dapat berasal dari saluran irigasi, sungai atau sumber lainnya. Meski ikan patin tidak membutuhkan sumber air yang senantiasa mengalir sepanjang waktu, untuk unit pembenihan satu hal yang harus terpenuhi adalah kondisi air yang harus bersih. Untuk itu, jika sulit mendapatkan sumber air irigasi yang baik, sumber air lainnya dapat diusahakan berupa air tanah.


Gambar 1. Sumber air tanah (kiri); Sumber air irigasi (kanan)

2.  Kualitas Air
            Kualitas air penting dalam pembenihan patin. Air yang kurang baik dapat menyebabkan ikan mudah terserang penyakit. Ada beberapa variabel penting yang berhubungan dengan kualitas air. Ikan patin termasuk salah satu jenis ikan yang tahan terhadap kekurangan oksigen di dalam air. Konsentrasi CO2 dan zat asam dapat mempengaruhi derajat keasaman (pH). Selain sifat kimia tersebut, air juga memiliki sifat-sifat fisika, antara lain yang berhubungan dengan suhu, kekeruhan, dan warna air.

3.  Tanah
            Selain air, tanah juga merupakan faktor penting dalam kegiatan budidaya ikan patin, khususnya untuk kegiatan pembenihan. Dalam membuat suatu unit usaha, sifat-sifat tanah harus diperhatikan. Hal pokok yang harus diperhatikan adalah tanah pematang kolam harus kokoh, sehingga bisa menahan massa air. 
Gambar 2. Kolam Pemeliharaan Budidaya Ikan Patin 
 
           Ada beberapa jenis tanah yang dapat dibuat kolam, yaitu tanah liat atau lempung berpasir, tanah terapan, tanah berfraksi kasar, dan tanah berpasir. Tanah liat berpasir sangat mudah dibentuk, tidak mudah pecah, dan tidak mudah melekat di tangan. Untuk tiga jenis tanah terakhir, pematang kolam harus ditembok atau dibeton untuk menghindari kebocoran.

Friday, February 7, 2014

Biologi Ikan Patin Siam



Taksonomi  Ikan Patin Siam

Klasifikasi ikan patin menurut Rainboth (1996) dalam Ayu, dkk. (2005) adalah Filum: Chordata, Kelas : Pisces, Sub Klas: Teleostei, Ordo:  Ostariophysi, Famili: Pangasidae, Genus: Pangasionodon, dan Spesies: Pangasionodon hypopthalmus

Morfologi Ikan Patin Siam







 Gambar 1. Ikan Patin Siam (Pangasionodon hipothalmus)

Bagian punggung terdapat sirip yang dilengkapi dengan 7 – 8 buah jari – jari. Sebuah jari – jari bersifat keras yang dapat berubah menjadi patil yang bergerigi dan besar di belakangnya. Sementara jari – jari lunak sirip punggung terdapat 6 - 7 buah. Pada punggungnya terdapat sirip lemak yang berukuran kecil. Sirip ekornya membentuk cagak dan bentuknya simetris, sirip duburnya panjang terdiri dari 30 - 33 jari-jari lunak, sedangkan sirip perutnya memiliki 6 jari – jari lunak. Sirip dada memiliki 12 - 13 jari – jari lunak dan sebuah jari – jari keras yang berubah menjadi senjata yaitu patil (Mustofa, 2010). 

Pada saat masih berukuran kecil (5-12 cm), patin dapat dipajang di akuarium sebagai ikan hias. Tubuhnya terlihat seperti ikan lele, warnanya perak mengkilap, dan gerakannya lincah. Walaupun terkesan galak, patin tergolong ikan yang cukup jinak, karena bentuknya yang unik seperti ikan hiu, maka  ikan patin juga dikenal dengan sebutan Siamese shark (hiu siam).

Siklus Hidup

Patin adalah ikan sungai, muara-muara, dan danau. Ikan patin di alam bebas biasanya sembunyi di dalam liang – liang di tepi sungai atau kali dan menetap di dasar perairan (domersal). Ikan ini baru keluar dari liang pada malam hari (nocturnal). Di alam ikan patin bersifat karnivora (saat larva), tetapi di tempat pemeliharaan (budidaya) bersifat omnivora (pemakan segala). Makanan yang disukainya Brachionus sp., Crustacea, Cladocera. Larva patin dapat hidup sampai salinitas 5 ppt, larva yang baru habis kuning telurnya mempunyai sifat kanibal yang tinggi (Mustofa, 2010). Induk Patin siam sudah mulai dapat dipijahkan setelah berumur 4 tahun dan memijah pada musim hujan. Patin siam merupakan ikan sungai yang banyak ditemukan di Asia Tenggara, seperti Thailand, Kamboja, Laos, Burma, dan Vietnam. Ikan patin hidup disungai yang dalam, agak keruh, dasar berlumpur.

 Tingkah Laku

Ikan patin sangat toleran terhadap derajat keasaman (pH) air, artinya ikan patin ini dapat bertahan hidup baik pada kisaran pH 5 – 9, kandungan O2 terlarut yang dibutuhkan berkisar antara 3 – 6 ppm, CO2 yang bisa ditoleran berkisar antara 9 – 20 ppm, alkalinitasnya antara 80 – 250, suhu air media pemeliharaan yang optimal berkisar antara 28 – 300 C. 
 
Pustaka
 
Ayu, W. Azizizah. Abidin, J. dan Suhendi. 2005. Pemanfaatan Kombmasi Ekstrak Daun Ketapang Terminalia Catfapa L. Dan Bawang Putm Allium Safivum Sebagai Antibiotik Alami Untuk Pencegahan Dan Pengobatan Serangan Aeromonas Hydrophila Pada Ikan Patin Pangasionodon Hypopthalmus. Laporan Akhlr. www. Googel.com.  Pemanfaatan Kombinasi Ekstrak daun Ketapang_abstract. Pdf. (29 Juli 2011) 


Mustofa, F. 2010. Ikan Patin Siam (Pangasius hypophthalmus). http://fauzan-mustopa.blogspot.com/2010/10/ikan-patin-siam-pangasius-hypophthalmus.html. (24 Maret 2011) 

EVALUASI PRODUKSI MASSAL BENIH IKAN PATIN SIAM (Pangasianodon hypophthalmus Sauvage, 1878) DALAM MENUNJANG INDUSTRIALISASI PERIKANAN



Jadmiko Darmawan dan Evi Tahapari*

Balai Penelitian Pemuliaan Ikan
Jl. Raya 2 Sukamandi KM 99 Pantura, Subang, Jawa Barat 41263
Telp. 0260 520500, 520662, e-mail: micho_jad@yahoo.co.id ; evitahapari@yahoo.co.id


ABSTRAK
Peningkatan target produksi ikan patin nasional dalam menunjang industrialisasi perikanan harus didukung dengan penyediaan benih siap tebar yang terjamin kualitas, kuantitas dan kontinuitas. Tujuan penelitian ini adalah melakukan evaluasi terhadap kegiatan produksi massal benih patin siam (Pangasianodon hypophthalmus Sauvage, 1878) secara intensif di kolam tembok. Kegiatan pendederan dilakukan pada 3 buah kolam tembok dengan dasar tanah berukuran 1000 m2 (50m x 20m x 1m) dengan kedalaman air 60 – 80 cm. Pada tahap persiapan dilakukan pemupukan dengan pupuk kompos 100 g/m2, urea 6 g/m2, TSP 3 g/m2 dan aplikasi probiotik dengan dosis 1 ml/m2. Penambahan pupuk urea 3 g/m2 dan TSP 1,5 g/m2 dilakukan setiap 7 hari . Ikan yang digunakan adalah benih patin siam berumur 21 hari dengan rata-rata bobot awal  benih kolam A dan C sebesar 0,18±0,06 g dengan panjang total 2,40±0,29 cm, serta rata-rata bobot awal  benih kolam B sebesar 0,17±0,12 g dengan panjang total 2,20±0,24 cm. Penebaran benih dilakukan 7 hari setelah pemupukan dengan padat penebaran 190 ekor/m2. Pengamatan panjang dan bobot serta kualitas air dilakukan setiap 20 hari. Setelah 40 hari dilakukan pemanenan dan dihasilkan  benih dengan bobot akhir pada kolam A, B dan C berturut – turut sebesar 6,10 ± 2,60 gram, 5,47 ± 2,03 gram, dan 8,53 ± 3,82 gram, panjang standar 7,73 ± 1,16 cm, 7,47 ± 0,96 cm, dan 8,51 ± 1,25 cm dan panjang total, 9,21 ± 1,32 cm, 8,91 ± 1,12 cm, dan 10,18 ± 1,43 cm. Berdasarkan hasil perhitungan, diketahui laju pertumbuhan bobot spesifik pada kolam A, B dan C berturut – turut sebesar 9,21%, 9,06% dan 10,13%, laju pertumbuhan panjang standar spesifik 2,97%, 3,10% dan 3,22%, laju pertumbuhan panjang total spesifik 2,92%, 3,28% dan 3,18% serta tingkat kelangsungan hidup 95,86%, 99,49% dan 99,70% dengan konversi pakan 0,38, 0,44 dan 0,35. Dari analisa usaha yang dilakukan kegiatan produksi massal benih ikan patin siam masih menguntungkan dengan nilai R/C sebesar 1,54.

Kata kunci : patin siam, produksi, benih, pemupukan,pertumbuhan

PENGANTAR
Ikan patin adalah komoditas unggulan ikan air tawar di Indonesia dan menjadi salah satu target industrialisasi perikanan. Kementerian Kelautan dan Perikanan menargetkan produksi patin nasional meningkat dari produksi tahun 2012 sebesar 651.000 ton, pada tahun 2013 menjadi 1,1 juta ton. Saat ini teknologi budidaya ikan patin sudah sangat berkembang dimasyarakat, sehingga untuk mendukung program tersebut diperlukan ketersediaan benih yang terjamin secara kualitas, kuantitas dan kontinuitas. Permintaan benih unggul yang terus meningkat dimasyarakat telah mampu terpenuhi melalui usaha pembenihan ikan patin baik secara indoor hatcery maupun secara outdoor di kolam.
Pembenihan ikan patin secara indoor hatcery pada umumnya memelihara larva ikan patin dalam satu siklus produksi hingga ukuran 1 – 2 inchi dengan lama pemeliharaan 30 – 45 hari. Namun pada kegiatan pembesaran, terutama pada pemeliharaan di kolam dalam (≥2m) penggunaan benih ukuran kurang dari 4 inchi mempunyai resiko yang cukup tinggi karena banyak mengalami kematian yang disebabkan serangan hama, predator dan penyakit. Untuk menghasilkan benih siap tebar diperlukan kegiatan pendederan II yaitu pemeliharaan benih dari ukuran 1 inchi hingga ukuran lebih dari 4 inchi. Pada kegiatan pembenihan secara indoor hatcery keterbatasan tempat menjadi kendala utama dalam menghasilkan benih siap tebar. Teknologi produksi massal benih patin secara outdoor di kolam dengan aplikasi pemupukan dan probiotik yang tepat diharapkan mampu menekan biaya produksi, menekan tingkat mortalitas dan meningkatkan laju pertumbuhan benih patin yang dipelihara (Darmawan dan Tahapari, 2013). Kegiatan produksi massal benih patin secara outdoor ini selain sebagai penunjang keberhasilan kegiatan pembesaran, diharapkan juga dapat menjadi salah satu alternatif usaha untuk masyarakat yang berada dikawasan sentra budidaya ikan patin. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kegiatan produksi massal  benih ikan patin siam yang dipelihara secara outdoor di kolam dengan aplikasi pemupukan dan probiotik yang tepat dalam menunjang industrialisasi perikanan.

BAHAN DAN METODE
Kegiatan pendederan ikan patin siam dilakukan pada 3 buah kolam tembok dengan dasar tanah berukuran 1000 m2 (50m x 20m x 1m) dengan kedalaman air 60 – 80 cm, dan sumber air berasal dari saluran irigasi. Persiapan bak pendederan yang dilakukan adalah pengangkatan lumpur, pembersihan kolam, pengeringan, pemusnahan hama dan predator dengan saponin, pengisian air dan pemupukan. Pengisian air menggunakan air saluran irigasi dengan kedalaman air 80 cm. Guna mencegah masuknya  ikan liar, krustase, keong dan hama lainnya serta gulma, pada pipa saluran masuk diberi saringan menggunakan hapa hijau yang berbentuk kantong. Setelah semua bak terisi, air diendapkan terlebih dahulu selama 24 jam. Pemupukan dilakukan dengan penambahan pupuk kompos 100 g/m2, urea 6 g/m2, TSP 3 g/m2. Untuk menjaga kualitas air pemeliharaan dan peningkatan efisiensi pakan maka diberikan aplikasi probiotik dengan dosis 1 ml/m2 serta penambahan pupuk urea 3 g/m2 dan TSP 1,5 g/m2 setiap 7 hari .
Penebaran benih dilakukan 7 hari setelah pemupukan dengan padat penebaran 200 ekor/m2. Ikan uji yang digunakan adalah benih patin siam berumur 21 hari setelah menetas hasil pemijahan dan pendederan I di indoor hatcery komoditas patin Balai Penelitian Pemuliian Ikan, Sukamandi. Rata-rata bobot awal  benih kolam A dan C sebesar 0,18±0,06 g dengan panjang total 2,40±0,29 cm, serta rata-rata bobot awal  benih kolam B sebesar 0,17±0,12 g dengan panjang total 2,20±0,24 cm.
Pakan yang diberikan adalah pakan komersial (pelet) dengan kriteria sebagai berikut:
A.    10 hari pertama, pakan yang diberikan berupa pakan tenggelam berbentuk remahan (crumble), dengan kandungan protein kasar ≥40%. Jumlah pakan yang diberikan sebanyak 15% dari bobot biomas per hari dengan frekuensi pemberian pakan 3 kali sehari
B.    10 hari kedua, pakan yang diberikan berupa pakan terapung berbentuk pellet dengan diameter 1,5 mm, dengan kandungan protein kasar ≥38%. Jumlah pakan yang diberikan sebanyak 12,5% dari bobot biomas per hari dengan frekuensi pemberian pakan 3 kali sehari
C.   10 hari ketiga, pakan yang diberikan berupa pakan terapung berbentuk pellet dengan diameter 2 mm, dengan kandungan protein kasar ≥32%. Jumlah pakan yang diberikan sebanyak 10% dari bobot biomas per hari dengan frekuensi pemberian pakan 3 kali sehari

Pengamatan panjang dan bobot serta pengamatan kualitas air dilakukan setiap 20 hari. Setelah 40 hari dilakukan pemanenan. Pada akhir penelitian dilakukan pengamatan terhadap rata-rata bobot, sintasan, efisiensi pakan dan analisa usaha. Untuk mengetahui laju pertumbuhan spesifik benih ikan patin siam menggunakan rumus (Castell dan Tiews, 1980):
Dimana : SGR = Laju pertumbuhan spesifik (%)
                t       = Waktu pemeliharaan (hari)
                Wt    = Bobot akhir benih (gram)
                Wo   = Bobot awal tebar benih (gram)


Sintasan benih ikan patin siam menggunakan rumus (Effendie,1997):
Dimana : SR   = Sintasan (%)
                Nt    = Jumlah panen benih (ekor)
                No   = Jumlah awal tebar benih (ekor)




Konversi pakan pendederan II benih ikan patin siam menggunakan rumus (NRC, 1977):
Dimana : FCR = Nilai konversi pakan
               Wp    = Jumlah bobot kering pakan yang diberikan selama pemeliharaan (g)
               Wt     = Jumlah bobot biomas benih yang dipanen
               D      = Jumlah bobot biomas benih yang mati selama pemeliharaan
               Wo    = Jumlah bobot biomas benih yang ditebar

Revenue Cost Ratio (R/C rasio) dilakukan dengan tujuan untuk melihat keuntungan relatif dalam sebuah usaha perikanan yang diperoleh dalam 1 tahun terhadap biaya yang dikeluarkan dalam kegiatan usaha perikanam tersebut.

Dimana sebuah usaha dikatakan layak apabila nilai R / C lebih besar daripada 1 dikarenakan hal ini menggambarkan semakin tinggi nilai R / Cnya maka tingkat keuntungan suatu usaha juga akan semakin tinggi.

Nilai Titik Impas (BEP) usaha pendederan II benih ikan patin siam menggunakan rumus:
Dimana : FC    = biaya tetap
   P       = harga jual per ekor
   V       = biaya variabel per ekor
   VC    = biaya variabel
   S       = total penjualan





HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil pengamatan selama 40 hari pemeliharaan, dari tiga unit kolam dengan perlakuan yang sama diketahui memberikan hasil pertumbuhan bobot yang berbeda. Pertumbuhan bobot pada sampling pertama umur pemeliharaan 20 hari, belum mengalami perbedaan yang signifikan antar kolam, namun pada saat panen diketahui pada kolam 3 mengalami peningkatan yang jauh lebih tinggi dibanding dengan kolam 1 dan kolam 2. Pada kolam 3, bobot rata-rata benih ikan patin siam yang dipanen mencapai 8,53 ± 3,82 gram, kemudian diikuti kolam 1 dengan bobot rata-rata 6,10 ± 2,60 gram dan kolam 2 dengan bobot rata – rata terendah sebesar 5,47 ± 2,03 gram.

    
        Gambar 1. Pertumbuhan bobot, panjang standar, dan panjang total benih ikan patin siam selama kegiatan pendederan II

Selaras dengan pertumbuhan bobot, pertumbuhan panjang baik panjang standar maupun panjang total pada kolam 3 merupakan pertumbuhan yang tertinggi yang disusul oleh kolam 1 dan terendah pada kolam 2. Panjang standar benih ikan patin pada saat panen dari kolam 3, kolam 1 dan kolam 2 berturut – turut adalah sebesar 8,51 ± 1,25 cm, 7,73 ± 1,16 cm dan 7,47 ± 0,96 cm, dengan panjang total berturut – turut sebesar 10,18 ± 1,43 cm, 9,21 ± 1,32 cm dan 8,91 ± 1,12 cm.


Tabel 1. Keragaan pertumbuhan, sintasan dan konversi pakan pada kegiatan pendederan II ikan patin siam secara outdoor di kolam
Perbedaan pada pertumbuhan bobot dan panjang tersebut diduga terjadi sebagai dampak dari kualitas air kolam dan kedalaman air kolam. Pada kolam 2 selama pemeliharaan terjadi kebocoran kolam sehingga kedalaman air kolam hanya mampu mencapai 60 cm, sedangkan pada kolam 3 dan kolam 1 kedalaman air kolam mampu mencapai 80 cm. Kedalaman air pada kegiatan pendederan memiliki pengaruh yang besar terhadap kualitas air kolam pemeliharaan. Lokasi yang dangkal akan lebih mudah mengalami pengadukan lumpur dasar kolam yang pada akhirnya mengakibatkan air menjadi lebih keruh. Dari hasil pengamatan yang dilakukan pada pukul 10 – 12 siang diketahui bahwa beberapa parameter kualitas air (pH, oksigen terlarut,suhu dan konduktivitas) pada masing – masing kolam masih berada pada kisaran yang baik untuk kegiatan pendederan, namun pada kolam 1 dan 2 tingkat kekeruhan air jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kolam 3(Tabel 2).

Tabel 2. Kualitas air kolam pendederan II ikan patin siam

Kondisi kualitas air yang buruk sebagai dampak dari kedalaman kolam yang kurang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap laju pertumbuhan, sintasan dan konversi pakan benih ikan patin yang dipelihara. Beberapa hasil penelitian yang mempelajari pengaruh kedalaman kolam terhadap laju pertumbuhan ikan antara lain sebagaimana disampaikan oleh Winarlin et al (2008), menyatakan bahwa kedalaman air berpengaruh terhadap laju pertumbuhan spesifik benih ikan nilem tidak berpengaruh terhadap sintasan (p>0,05). Simangunsong, R (1998), yang melakukan penelitian tentang pengaruh kedalaman air terhadap pertumbuhan ikan betok juga memaparkan bahwa kedalaman air memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap laju pertumbuhan bobot spesifik dan konversi pakan ikan betok.
Tingkat kelangsungan hidup dari masing – masing kolam pemeliharaan memberikan hasil yang baik dengan nilai tingkat kelangsungan hidup diatas 90 %. Namun dari ketiga kolam pemeliharaan, kolam 1 memberikan nilai terendah sebesar 95,86 % sedangkan pada kolam 2 dan 3 nilai tingkat kelangsungan hidup mencapai 99,49 dan 99,70%. Kematian benih pada kolam 1 terjadi pada hari ke-7 hingga hari ke-11 pemeliharaan ketika sumber air dari saluran irigasi tidak mengalir dan terjadi hujan dengan intensitas yang cukup tinggi pada malam hari. Kematian ikan diduga disebabkan rendahnya air kolam pemeliharaan dan terjadinya hujan dimalam hari yang berdampak pada tingginya fluktuasi suhu harian air kolam. Yunus, M. et al (1995), menjelaskan bahwa kedalaman air kolam tadah hujan sedalam 100 cm memberikan hasil yang lebih baik terhadap tingkat kelangsungan hidup dan laju pertumbuhan ikan lele lokal. Yunus, M. et al (1995) juga menyimpulkan bahwa flukstuasi suhu air harian akan relatif lebih stabil dengan semakin dalam air kolam dan pada kedalaman air 100cm disebutkan memiliki selisih kisaran suhu air harian rata – rata sebesar 3,50C.

Tabel 3.Kelimpahan plankton pada kolam pendederan II ikan patin siam

Berdasarkan analisis terhadap kelimpahan plankton di kolam pendederan II ikan patin siam diketahui kolam 1 memiliki kelimpahan tertinggi sebesar 434.500 ind/l dengan kelimpahan fitoplankton sebesar 433.500 ind/l dan kelimpahan zooplankton sebesar 1000 ind/l. Pada kolam 3, kelimpahan plankton masih relatif cukup tinggi sebesar 382.500 ind/l yang terdiri dari  fitoplankton dengan kelimpahan sebesar 381.500 ind/l dan zooplankton dengan kelimpahan sebesar 1000 ind/l. Sedangkan kelimpahan terendah terjadi pada kolam 2 sebesar 152.000 ind/l yang terdiri dari  fitoplankton dengan kelimpahan sebesar 145.000 ind/l dan zooplankton dengan kelimpahan sebesar 7000 ind/l.
Kolam 1 memiliki kelimpahan tertinggi terjadi sebagai dampak dari kedalaman kolam yang lebih rendah dibandingkan dengan kolam 2 dan kolam 3. Dengan demikian volume air pada kolam tersebut menjadi lebih sedikit sehingga konsentrasi bahan organik di perairan menjadi lebih tinggi dan pertumbuhan fitoplankton juga meningkat. Sedangkan pada kolam 3, kelimpahan plankton menjadi terendah disebabkan karena kelimpahan zooplankton pada kolam tersebut jauh lebih tanggi dibandingkan dengan kedua kolam yang lain. Sehingga kelimpahan fitoplankton sebagai faktor utama yang berpengaruh terhadap tingginya kelimpahan total plankton diperairan menjadi lebih rendah dibandingkan kolam 1 dan 3. Kelimpahan plankton pada kolam 2 menjadi lebih rendah disebabkan banyaknya fitoplankton yang dimanfaatkan zooplankton untuk terus tumbuh dan berkembang biak.
Pada kegiatan pendederan benih ikan patin siam, pakan alami memiliki peranan yang sangat penting sebagai sumber nutrisi utama dan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan benih. Dari hasil pengamatan pada 3 kolam pemeliharaan, benih yang dipelihara memiliki karakter kebiasaan makanan yang berbeda – beda.

Tabel 4. Kebiasaan makanan benih pendederan II ikan patin siam

Pada kolam 1 dan 2 persentase pakan buatan pada saluran  pencernaan benih ikan patin siam yang dipelihara berkisar antara 28,33% – 36,67%, dan sisanya  sebesar 63,33% - 71,67% adalah tumbuhan  (makrofita). Hasil penelitian yang dilakukan Darmawan dan Tahapari (2012), memaparkan hasil analisa isi saluran pencernaan benih ikan patin siam pada kegiatan pendederan II berumur 2 minggu yang dipelihara pada kolam beton, pakan buatan yang terdapat pada saluran pencernaan hanya sebesar 29,57% dan sisanya adalah pakan alami yang didominasi oleh larva serangga (Chironomus sp.) sebesar 64,90%. Sedangkan pada kolam 3 persentase pakan buatan pada saluran  pencernaan benih ikan patin siam yang dipelihara sebesar 63,33%, tumbuhan 13,33%, fitoplankton 21,67% dan sisanya zooplankton sebesar 1,67%.








Tabel 5. Indeks pemilihan makanan (Index of Electivity) ikan patin siam

Dari jenis zooplankton, benih ikan patin siam pada kolam 3 lebih tertarik kepada kelas rotifera, cukup tertarik kepada kelas protozoa namun tidak tertarik kepada kelas copepoda. Sedangkan untuk jenis fitoplankton, benih ikan patin siam pada kolam 3 lebih tertarik kepada kelas euglenophyceae dengan nilai indeks pemilihan makanan sebesar 0,5175, namun tidak tertarik pada fitoplankton jenis yang lain yang ditunjukkan dengan nilai indeks pemilihan makanan yang hampir mendekati -1 (Ivlev, 1961).






















Tabel 5. Analisa usaha pendederan II ikan patin siam
Berdasarkan pada tingkat kelangsungan hidup benih patin siam pada pendederan II selama 40 hari pemeliharaan dengan ukuran panen berkisar 4 – 5 inchi dilakukan penghitungan analisa usaha. Analisa usaha di atas menunjukkan  bahwa usaha pendederan II di kolam tembok berlantai dasar tanah masih menguntungkan dengan nilai R/C sebesar 1,54 yang menunjukkan bahwa setiap Rp. 1,- uang yang dikeluarkan akan menghasilkan penerimaan sebesar Rp. 1,54,- atau keuntungan sebesar Rp. 0,54,-. Keuntungan yang diperoleh dalam satu siklus (2 bulan) untuk 3 kolam pendederan berukuran 1000 m2 sebesar Rp. 79.123.867,- dengan nilai titik impas tercapai pada saat memproduksi benih sebanyak 24.660 ekor atau memperoleh penerimaan sebesar Rp. 9.863.980,-. Sedangkan

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pengamatan dapat disimpulkan bahwa usaha pendederan II ikan patin siam secara outdoor di kolam tembok berlantai dasar tanah merupakan usaha yang cukup menguntungkan  dan dapat menjadi salah satu alternatif usaha bagi masyarakat pembudidaya.

DAFTAR ACUAN
Castell, J.D. and K. Tiews (Editors) .1980. Report of the EIFAC, IUNS and ICES Working Group on the standardization of methodology in fish nutrition research. Hamburg, Federal Republic of Germany, 21–23 March, 1979. EIFAC Tech. Pap., (36):24 p.
Darmawan, J dan Tahapari, E, 2013. Pendederan Ikan Patin Siam (Pangasianodon hypophthalmus) Secara Outdoor dengan Penambahan Jenis Pupuk Organik yang Berbeda. Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur Tahun 2013. Jakarta.
Darmawan, J dan Tahapari, E, 2012. Kebiasaan makanan benih ikan patin siam (Pangasianodon hypophthalmus) yang dipelihara di kolam beton dengan pemupukan optimal. Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur Tahun 2012. Jakarta. Hlm. 515 – 520.
Effendie, M.I. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta. 163 halaman.
NRC (National Research Council). 1983. Nutrient requirements of warmwater fishes and shellfishes, National Academy Press, Washington DC., 102 pp.
Winarlin, Djajasewaka, H., Samsudin, R., dan Taufik, I. 2008. Pengaruh Tingkat Kedalaman Air Terhadap Pertumbuhan dan Sintasan Benih Ikan Nilem (Osteochilus hasselti, C.V). Teknologi Perikanan Budidaya Tahun 2008.Jakarta. Hlm. 107 – 109.
Yunus, M., Priyadi, A., dan Wahid, A. 1995. Pengaruh Kedalaman Air Kolam Tadah Hujan Terhadap Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Ikan Lele Lokal (Clarias batrachus). Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 1 (2) 1995. Jakarta. Hlm. 98 – 105.